Siapa yang tidak mengenal petai? Buah yang tumbuh didaerah tropis
dengan nama tenar pete` atau mlanding (Latin : Parkia speciosa)
merupakan pohon tahunan tropika dari suku polong-polongan (Fabaceae),
anak-suku petai-petaian (Mimosoidae). Tumbuhan ini tersebar luas di
Nusantara bagian barat. Bijinya, yang disebut “petai” juga, dikonsumsi
ketika masih muda, baik segar maupun direbus.
Pohon petai menahun, tinggi dapat mencapai 20m dan kurang bercabang.
Daunnya majemuk, tersusun sejajar. Bunga majemuk, tersusun dalam bongkol
(khas Mimosoidae). Bunga muncul biasanya di dekat ujung ranting.
Buahnya besar, memanjang, betipe buah polong. Dari satu bongkol dapat
ditemukan sampai belasan buah. Dalam satu buah terdapat hingga 20 biji,
yang berwarna hijau ketika muda dan terbalut oleh selaput agak tebal
berwarna coklat terang. Buah petai akan mengering jika masak dan
melepaskan biji-bijinya.
Biji petai, yang berbau khas dan agak mirip dengan jengkol,
dikonsumsi segar maupun dijadikan bahan campuran sejumlah menu. Sambal
goreng hati tidak lengkap tanpa petai. Sambal petai juga merupakan menu
dengan petai. Biji petai biasanya dijual dengan
menyertakan polongnya. Namnun demikian, pengemasan moderen juga dilakukan dengan mengemasnya dalam plastik atau dalam stirofoam yang dibungkus plastik kedap udara.
menyertakan polongnya. Namnun demikian, pengemasan moderen juga dilakukan dengan mengemasnya dalam plastik atau dalam stirofoam yang dibungkus plastik kedap udara.
Bicara tentang petai, saya dan sekeluarga paling doyan makan petai.
Kalau sudah jatuh musimnya, setiap hari di rumah saya selalu terhidang
makanan yang dicampur dengan petai. Seperti sayur lodeh petai, sambel
petai, balado petai, kering tempe petai, petai bakar, dan lain-lain.
Tapi, dari sekian banyak menu makanan dengan variasi petai, ada yang
paling saya sukai yaitu petai bakar yang disantap sebagai lalapan
bersama sambal terasi dan ikan asin gabus. Waaaahh…bahkan sekali makan,
saya bisa lupa diri bisa habis 2-3 papan petai sekaligus!
Namun, apa akibatnya? Bau kamar mandi seluruh rumah menjadi
“semerbak” minta ampun. Sekeras apapun usaha kita membersihkan kamar
mandi, dan dengan karbol merk apapun, bau “harum” petai tidak kunjung
hilang juga. Bukan hanya itu. Bau mulut pun tak kurang menyengat,
meskipun sudah berkali-kali menggosok gigi dan berkumur. Praktis,
setelah kami menyantap hidangan serba petai itu, kami terkena syndrome
“tutup mulut” , bukan karena kami pemalu, tapi karena takut lawan bicara
kami pingsan karena “aroma” petai. Pernah suatu kali, saudara kami
datang dari Bandung , untuk berlibur sekeluarga di rumah kami. Ketika
masuk ke kamar mandi, langsung ia berkomentar, ” Baru pesta petai
ya…agak harum ?” Sambil garuk-garuk kepala dan tersipu malu kami
mengaku, bahwa sulit sekali menghilangkan “aroma” petai itu. Dengan
tergelak geli, saudara kami akhirnya membocorkan rahasia kecilnya pada
kami, bagaimana agar mulut dan air seni tidak bau setelah mengkonsumsi
petai. Dia bilang, sebanyak apapun petai yang kita makan, tidak masalah,
yang penting setelah kita makan petai kita harus segera minum air teh
tawar kental minimal 3 gelas. Ingat, tidak perlu ditambah gula. Rahasia
kecil itu pun langsung saya praktekkan. Waaahh…ternyata benar ! Ketika
saya buang air kecil, bau petainya sudah tidak menyengat lagi. Baunya
sudah dinetralisir oleh teh. Malah, meskipun hanya saya siram dengan
air, bau air seni itu pun tidak tercium lagi. Demikian mulut saya tidak
lagi mengeluarkan “bau naga” yang memusingkan. Namun, apa yang kemudian
terjadi pada keluarga kami setelah tahu rahasia kecil itu? Kami
sekeluarga menjadi makin tergila-gila makan petai. Bau petai? Siapa
takut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis komentar di sini