Apa tujuan dari pernikahan dan keluarga Kristen? Untuk maksud apa
orang Kristen menikah dan berkeluarga? Pertanyaan yang sering kita
dengar ini sudah coba dijawab, baik melalui konseling pranikah,
ceramah-ceramah, maupun seminar-seminar. Bahkan hampir setiap buku
tentang pernikahan dan keluarga Kristen selalu dimulai dengan membahas
pertanyaan ini. Meskipun demikian selalu saja pertanyaan ini ditanyakan.
Rupanya keragu-raguan tak dapat disingkirkan dari dalam hati banyak
orang karena mungkin realitanya mereka sendiri menjalani kehidupan
pernikahan dan keluarga yang sekali-kali tidak berbeda dari orang-orang
non-Kristen. Yaitu kehidupan pernikahan dan keluarga "yang
alami/natural" di mana orang bertemu, saling mencinta, membuat tekad
bersama, meresmikan ikatan mereka, hidup bersama, bekerja mengumpulkan
uang dan harta benda (untuk dinikmati bersama sampai hari tua),
melahirkan anak-anak, mendidik, membesarkan, dan mempersiapkan mereka
untuk kehidupan yang mandiri dan bahagia. Yah suatu kehidupan dengan
tujuan kebahagiaan.
Inilah tujuan dari pernikahan dan keluarga "yang alami" yang memang
secara praktis sudah coba dijalani oleh hampir setiap orang, termasuk
umat Kristiani. Tidak heran jikalau pergumulan mereka dalam pernikahan
dan keluarga seringkali hanyalah untuk mengatasi dan menyelesaikan
hambatan-hambatan dalam proses pernikahan dan keluarga mereka yang
“alami” tersebut . Sulit bagi mereka untuk mengerti dan mempercayai
mereka , dari perspektif iman kristen , usaha mereka untuk membentuk
pernikahan dan membangun keluarga yang bahagia adalah suatu kesia-siaan
jikalau itu semata- mata manifestasi proses alami, tanpa tujuan seperti
yang telah ditetapkan oleh Allah.
Pernikahan dan keluarga Kristen mempunyai tujuan yang jelas karena
memang untuk maksud itulah Allah menciptakan lembaga pernikahan. Bahkan
Allah menetapkan bahwa lembaga pernikahan dan keluarga menjadi pusat
kehidupan manusia seutuhnya, karena:
1. Melalui pernikahan dan
keluarga Kristen manusia dipersiapkan untuk betul-betul menjadi manusia
yang seutuhnya. Sangat mengherankan, bahwa bukan gereja dan bukan pula
sekolah yang ditetapkan Allah untuk membentuk manusia menjadi manusia
seutuhnya, tetapi keluarga. Melalui keluarga:
a. Manusia belajar mengembangkan
pattern/pola kerja dari jiwa yang cocok untuk memahami kasih Allah yang
unconditional (kasih yang tak bersyarat).
Alkitab menyaksikan bahwa Allah yang
sejati adalah Allah yang kasih-Nya unconditional. Artinya Ia adalah
Allah yang mengasihi manusia bukan oleh karena kondisi manusia yang
sudah pantas untuk dikasihi. Alkitab bahkan menyaksikan bahwa "....waktu
kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang berdosa"
(Roma 5:6). Artinya sementara manusia masih dan sedang berkanjang dalam
dosa dan melawan Allah, Allah mengutus Putra-Nya yang Tunggal untuk mati
bagi mereka dan menebus dosa mereka. Kasih Allah adalah kasih yang
unconditional.
Coba bayangkan, apa yang terjadi dan
bagaimana manusia dapat "mengenal dan menghayati" kasih Allah tersebut,
jikalau mereka lahir dibesarkan dalam keluarga di mana jiwa mereka cuma
terlatih untuk mengerti kasih yang conditional, kasih yang bersyarat.
Banyak anak, termasuk anak-anak dalam keluarga Kristen yang hanya
merasakan kasih orangtua pada saat mereka manis, menurut, dan
menyenangkan hati orang tua tersebut. Sebaliknya , pada saat mereka
menjengkelkan, sikap orang-tua berubah dan kasihnya tak dapat dirasakan
lagi. Pada saat-saat seperti itu, disiplin menjadi punishment, dan
nafsu kemarahan hanya mengkomunikasikan hukuman, kebencian, dan
penolakan saja. Meskipun mungkin setelah itu disesali, tetap
pattern/pola jiwa yang hanya mampu berkomunikasi dengan kasih yang
conditional-lah yang telah terbentuk. Pattern/pola jiwa ini akan terbawa
sepanjang umur hidup mereka. Sehingga pemahaman cognitif rasionil bahwa
kasih Allah adalah kasih yang unconditional, tidak pernah dapat
benar-benar diterima dan dihayati oleh jiwa mereka. Mungkin mereka sudah
dilahirkan baru dan diselamatkan, tetapi sulit bagi mereka untuk tumbuh
secara rohani karena jiwa mereka terjerat pada pattern/pola yang hanya
bisa berkomunikasi dengan kasih yang conditional saja.
b. Manusia belajar mengembangkan
pattern/pola kerja jiwa yang cocok untuk memahami kehendak Allah yang
predictable (yang dapat diduga).
Alkitab juga menyaksikan bahwa Allah yang
hidup adalah Allah yang berkehendak dan kehendak-Nya predictable. Ia
bukan Allah yang firman- Nya tersembunyi, atau terlalu sulit untuk
difahami. Ia adalah Allah yang firman-Nya dianugerahkan begitu dekat,
bahkan menyatu dengan hati, mulut dan bibir anak-anak-Nya (Ulangan
30:11- 14, 4:7-8). Orang percaya disebut sebagai sahabat-sahabat-Nya
(bukan hamba-hamba) karena "segala sesuatu yang diketahui Allah, yang
perlu untuk keselamatan dan kehidupan dalam kebenaran" sudah diberikan
kepada mereka (Yohanes 15:14-15). Allah adalah Allah yang firman-Nya
predictable.
Celakanya manusia selalu terjebak dalam
keinginantahuan atas hal-hal yang sekunder, yang Allahpun sebenarnya
tidak selalu menetapkan sama seperti Ia telah menetapkan kehendak-Nya
dalam keselamatan dan kehidupan dalam kebenaran-Nya. Dalam hal-hal
sekunder inilah manusia terjebak pada kehendak Allah yang seolah-olah
unpredictable (yang tak dapat diduga). Padahal yang terjadi seringkali
adalah manusia menghadapi dengan realita dari buah interaksi antara
dirinya yang berdosa dengan hukum alam (natural laws) yang diciptakan
Allah. Soal sakit dan kesembuhan, hal menanamkan modal, keuntungan atau
kerugian dalam usaha, tujuan dan cita-cita pribadi, pergaulan dan hal
memilih jodoh, studi, karir, adalah hal-hal yang sekunder, yang bobot
kepentingannya tidak sama dengan kepentingan dari keselamatan dan
kehidupan dalam kebenaran. Dalam hal-hal inilah kehendak Allah
seolah-olah dirasakan unpredictable, karena pada akhirnya setiap manusia
harus bertanggung-jawab sesuai dengan pertanggung-jawaban, kebebasan
dan level kematangan pribadinya.
Kembali ke persoalan semula, kita percaya
bahwa dalam keluarga Kristen manusia ditetapkan untuk mengembangkan
pattern/pola kerja jiwa yang cocok untuk memahami kehendak Allah yang
predictable. Kehendak Allah dalam konteks keselamatan dan kehidupann
dalam kebenaran-Nya adalah kehendak Allah yang predictable. Dan hal yang
menghayati realita anugerah ini merupakan salah satu kunci yang
menentukan pertumbuhan rohani orang percaya. Oleh sebab itu, masalah
ini menjadi masalah yang krusial pada saat kita menemukan betapa
banyaknya orang Kristen yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga di
mana pattern/pola jiwa yang cocok untuk ini tidak pernah dikembangkan.
Banyak anak-anak keluarga Kristen yang pengalaman dengan orangtuanya
justru mengembangkan pola jiwa yang cuma cocok untuk berhubungan dengan
kehendak yang unpredictable. Misalnya, pada saat senang orang-tua begitu
permisif mengijinkan anak untuk nonton TV sampai larut malam. Tetapi
hari berikutnya, pada saat hatinya kurang senang, orang-tua melarang dan
dengan sikap yang sangat tidak bersahabat memarahi anak-anak ketika
mereka duduk nonton TV di sore hari. Sikap unpredictable ini bukan hanya
menghancurkan pembentukan konsep tentang nilai (mana yang baik dan mana
yang tidak baik), tetapi yang lebih serius, ini akan menutup
kemungkinan bagi jiwa mereka menghayati kebenaran Alkitab bahwa kehendak
Allah betul-betul sudah disediakan dan predictable.
c. Manusia belajar untuk mengembangkan jiwa yang dapat mempercayai sesamanya.
Jiwa yang dapat mempercayai (trusting)
adalah jiwa manusia sebagai makhluk sosial. Tanpa jiwa yang dapat
mempercayai, manusia sulit bergaul dan bekerja sama dengan sesamanya dan
tidak mampu membangun kehidupan bermasyarakat. Manusia menjadi
anti-sosial dan hidup dalam dunianya sendiri. Bahkan manusia hidup
dengan hukum- hukum yang diciptakan dan dianutnya sendiri. Ia menjadi
manusia egoistik dan tidak berperasaan. Dengan kata lain, manusia
kehilangan keutuhannya sebagai manusia, jikalau ia tidak mempunyai jiwa
yang dapat mempercayai sesamanya.
Jiwa yang "dapat mempercayai sesamanya"
ini biasanya terbentuk dan berkembang pada masa kecil, sejak lahir
sampai kira-kira berusia 2 th. Pembentukan dan perkembangannya hanya
terjadi dalam konteks keluarga yang hangat yang mengenal dan
mempraktekkan cinta kasih secara konsisten. Tanpa cinta kasih dari
orang-tua (terutama ibu) perkembangan jiwa anak akan terhambat dan anak
tidak lagi mempunyai kemampuan untuk dapat mempercayai sesamanya. Betapa
besarnya peran keluarga dalam pembentukan manusia yang seutuhnya.
d. Manusia belajar mengembangkan jiwa yang dapat menghargai kemampuan dan karyanya sendiri.
Dengan bakat otonomi, inisiatif dan
industri, manusia barulah menjadi manusia seutuhnya, yang berkarya, dan
berinovasi untuk menjadi berkat dalam kehidupan ini. Tanpa jiwa yang
menghargai kemampuan dan karyanya sendiri, manusia menjadi manusia yang
tidak berguna, yang menjadi beban bagi sesamanya.
Perkembangan jiwa dengan kualitas ini
merupakan hal yang sangat penting, karena tanpa itu, manusia tidak
pernah siap untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Dan sekali lagi hal
yang mengherankan ini juga dipercayakan Allah kepada keluarga. Dalam
keluargalah bakat otonomi, inisiatif, dan industri dibentuk, yaitu
melalui sikap orangtua yang mendorong pertumbuhan jiwa yang sehat
tersebut sejak anak berusia 3 tahun.
Orang-tua yang membelenggu anaknya dengan
1001 macam peraturan dalam rumah, mematikan curiosity (keinginan tahu)
si anak, dan takut dirugikan dengan kreativitas di luar kemauannya, akan
menghasilkan anak-anak dengan jiwa ragu-ragu, terus-menerus merasa
bersalah, dan rendah diri. Anak-anak ini di kemudian hari akan tumbuh
menjadi manusia-manusia yang tanpa inisiatif, dan tak punya "self
confidence dan self-esteem" (kepercayaan dan penghargaan pada dirinya
sendiri)." Mereka akan menjadi manusia-manusia yang tidak berguna.
Dengan ini sekali lagi kita disadarkan betapa besarnya kepentingan dan
peran dari keluarga.
2. Melalui pernikahan dan pembentukan keluarga, orang percaya dipanggil untuk masuk ke dalam proses pendidikan yang paling efektif.
Alkitab menyaksikan bahwa manusia diciptakan Allah menurut rupa dan
gambar-Nya (Kejadian 1:26). Dan salah satu karekteristik dari natur
manusia yang istimewa ini adalah pertumbuhannya yang tidak mengenal kata
cukup. Manusia diciptakan untuk terus-menerus tumbuh dalam bakat,
talenta dan kebenaran. Sehingga manusia dapat dipersiapkan untuk menjadi
partner (rekan kerja) Allah dalam mengerjakan dan mengelola seluruh
ciptaanNya (Kejadian 1:28, Efesus 2:10).
Sayang sekali proses pertumbuhan ini mandeg, bahkan menjadi kacau-
balau setelah manusia jatuh dalam dosa. Sejak itu menusia tidak lagi
menyadari akan maksud Allah dengan pernikahan dan pembentukan keluarga
supaya melalui itulah manusia masuk dalam proses pertumbuhan yang tidak
henti-hentinya. Di mata Allah, pernikahan dan pembentukan keluarga
adalah sarana pendidikan yang paling efektif. Tidak heran jikalau
setalah menciptakan Adam, Allah berfirman, tidak baik kalau manusia itu
seorang diri. "Aku akan menjadikan seorang penolong yang sepadan
baginya" (Kejadian2:18). Hubungan antara Adam dengan "penolongnya yang
sepadan" adalah hubungan suami-istri yang sah. Yaitu hubungan seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang telah dipersatukan oleh Allah, yang
mengikatkan mereka dalam ikatan yang istimewa yang akan memaksa mereka
untuk terus-menerus tumbuh. Dalam hubungan dengan istrinya, Adam
terpaksa harus belajar menahan diri, bersabar, peka terhadap perasaan
dan jalan pikiran orang lain, dan bahkan menghargai pendapat yang
mungkin sangat berbeda dengan pikirannya sendiri. Adam harus bergumul
dan dapat mentaklukkan selera dan perasaannya sendiri yang berubah-ubah.
Ia harus terus- menerus belajar mengasihi isterinya dalam keadaan
apapun. Termasuk dalam keadaan dimana isterinya mungkin menjadi seorang
yang sangat menjengkelkan hatinya."
Adam adalah manusia yang diciptakan Allah dengan kondisi dan potensi
yang sangat baik. Adam pasti mampu mengerjakan pekerjaan yang Allah
percayakan padanya dengan hasil yang sangat baik pula (misalnya, dalam
menggarap bumi ini). Meskipun demikian, di mata Allah Adam seorang
dirinya sendiri "tidak baik." Allah tidak terlalu mempedulikan
"hasil/achievement," atau apa yang Adam bisa kerjakan. Allah lebih
mempedulikan apa yang terjadi dalam "hati" Adam. Sebagai peta dan gambar
Allah, Adam harus menjadi "makluk yang terus-menerus tumbuh dalam
kebenaran." Itulah maksud dari inisiatif Allah dalam pernikahan dan
pembentukan keluarga. Betapa pentingnya pernikahan dan pembentukan
keluarga di mata Allah. Karena melalui itulah manusia dapat mengalami
pertumbuhan dalam kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis komentar di sini